 |
|
Oleh: Prof.Dr.Ir. H. Ari Purbayanto, M.Sc
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur, Malaysia
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara serumpun yang bersahabat. Persahabatan tersebut terjalin sejak lama melalui hubungan yang mengakar sejak jaman kerajaan Melayu. Bahkan pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, wilayah nusantara yang meliputi Sumatera, Semenanjung Malaysia, Singapura hingga Selatan Thailand berada di bawah kekuasaannya. Runtuhnya kekuatan Sriwijaya akibat peperangan telah mengakibatkan kerajaan melayu terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang pada akhirnya kekuatan kolonial Belanda berhasil menguasai wilayah Indonesia dan Inggris menguasai wilayah Semenanjung Malaysia.
Hubungan persahabatan Indonesia-Malaysia setelah kemerdekaan berlanjut dalam bingkai hubungan bilateral yang bersifat formal. Sejarah mencatat naik turunnya hubungan kedua negara tersebut karena dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan dan juga pekerja migran Indonesia. Disisi lain peran media masa (mass media) dari masing-masing negara juga turut menjadi faktor penentu hubungan tersebut. Namun demikian, hubungan antar masyarakat kedua negara (people to people contact) berjalan sangat harmonis karena hubungan tersebut dibangun atas dasar kemiripan kekuatan budaya dan emosi hubungan sosial serta kekerabatan yang sangat dekat. Faktanya sebagian masyarakat Melayu Malaysia memiliki garis keturunan Indonesia seperti dari suku Minang, Melayu Riau, Aceh, Jawa, Bugis dan Banjar.
Sungguh sangat ironis bila hubungan persahabatan tersebut hanya sebatas hubungan formalitas semu yang tidak berakar pada kekuatan hubungan antar masyarakatnya. Sejatinya peran pemerintah kedua negara dituntut dalam menentukan masa depan persahabatan Indonesia-Malaysia. Karena itu diperlukan implementasi kebijakan dan kerjasama bilateral yang membumi (down to earth) dan berkelanjutan. Tulisan ini mengupas kekuatan diplomasi bahasa sebagai perekat hubungan persahabatan Indonesia dan Malaysia, serta tantangan menjadikan Bahasa Indonesia dan Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).
Bahasa sebagai perekat hubungan Indonesia-Malaysia
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak sejarah pengakuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dari beragam suku bangsa di Indonesia. Pada saat yang sama Bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia juga telah dinyatakan sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejak saat itu Bahasa Indonesia digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai bahasa utama dalam pergaulan lokal, nasional maupun regional. Kebangkitan nasional telah mendorong berkembangnya Bahasa Indonesia dengan sangat pesat. Penggunaan Bahasa Indonesia secara konsisten dalam kegiatan politik, perdagangan, pendidikan, pemberitaan dan di berbagai aspek kehidupan lainnya telah berimplikasi pada tumbuh dan berkembangnya Bahasa Indonesia mengikuti perkembangan jaman.
Bahasa Indonesia berakar dari Bahasa Melayu yang tubuh dan berkembang menjadi Bahasa Melayu moderen. Dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Solo pada tahun 1938, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, dan dasarnya berasal dari Bahasa Melayu Riau”. Selanjutnya, dalam Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan tahun 1954 juga ditegaskan kembali bahwa bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Seorang tokoh Bahasa Indonesia Anton M. Moeliono dalam seminar Bahasa Indonesia pada tahun 1968 mempertegas bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu itu muara asalnya adalah Bahasa Melayu dialek Riau [Kongres Bahasa Melayu 2015].
Sementara itu, Bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia adalah Bahasa Melayu kuno. Bahasa ini dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan Melayu di wilayah Semenanjung Malaysia setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Pada jaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di nusantara dan sebagai bahasa perdagangan (lingua franca), baik sebagai bahasa antar suku bangsa di nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar nusantara.
Uraian di atas menggambarkan betapa pentingnya Bahasa Indonesia dan Melayu sebagai alat pemersatu bangsa dan juga alat komunikasi dalam berbagai aktivitas kehidupan berbagai suku bangsa di wilayah nusantara pada masa lampau. Kolonialisme telah memecah belah wilayah nusantara dan berdampak kepada pengaburan tatanan kehidupan dan pelemahan bahasa serta nilai-nilai budaya asli. Kondisi tersebut dapat diketahui dari tingkat kepentingan bahasa Melayu yang bersifat inferior dibandingkan dengan Bahasa Inggris khususnya di Negara Malaysia dan Singapura. Indonesia lebih beruntung karena Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Meskipun di kancah pergaulan internasional pada akhirnya berdampak kepada rendahnya indeks kecakapan Bahasa Inggris (English proficiency index) orang Indonesia dibandingkan dengan orang Malaysia apalagi Singapura.
Lantas, akankah Bahasa Indonesia dan Melayu kembali memegang peranan penting di wilayah nusantara, khususnya Malaysia sehingga dapat menjadi perekat hubungan kedua negara. Jawabannya sangat tergantung dari komitmen kedua negara untuk secara konsisten dan berkelanjutan menumbuh kembangkan pemahaman dan penggunaan bahasa tersebut dalam berbagai forum resmi bilateral maupun regional. Disamping itu, pengembangan bersama kurikulum Bahasa Indonesia-Melayu untuk diajarkan di sekolah maupun universitas merupakan strategi jangka menengah yang perlu ditempuh. Untuk mendukung kurikulum tersebut maka sudah selayaknya kedua negara membangun pusat-pusat pengembangan Bahasa Indonesia-Melayu berkerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi/universitas. Beberapa universitas negeri perlu didorong untuk membuka program studi Bahasa Indonesia-Melayu atau Pusat Kajian Indonesia di universitas Malaysia dan Pusat Kajian Malaysia di universitas Indonesia yang dilakukan secara resiprokal.
Bahasa Indonesia-Melayu menjadi bahasa MEA?
Pada saat ini Bahasa Indonesia-Melayu telah menjadi bahasa yang digunakan di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sementara itu, di Malaysia pada awal kemerdekaan tahun 1957, Bahasa Melayu disebut Bahasa Malaysia, kemudian kembali disebut sebagai Bahasa Melayu. Untuk menanamkan semangat perpaduan dalam masyarakat Malaysia, Bahasa Melayu kemudian disebut kembali menjadi Bahasa Malaysia sejak tahun 2007. Di Singapura lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris, tetapi Bahasa Melayu tetap menjadi media komunikasi, terutama bagi suku bangsa Melayu. Di Brunei Darussalam, Bahasa Melayu disebut dengan Bahasa Melayu Brunei yang menjadi bahasa resmi dan komunikasi utama.
Bahasa Melayu juga memiliki penutur di Thailand bagian selatan, demikian juga di Filipina terutama di kepulauan bagian selatan. Bahkan, penutur Bahasa Melayu juga dijumpai di Kamboja, Laos, Vietnam, Sri Lanka, Afrika Selatan, Madagaskar, Pulau Cocos dan Pulau Chrismast di Australia. Dalam komunitas yang lebih kecil, penutur Bahasa Melayu juga terdapat di Arab Saudi, Belanda dan Inggris [Kongres Bahasa melayu 2015].
Begitu banyak penutur Bahasa Indonesia dan Melayu di dunia yang terkonsentrasi di wilayah Asia Tenggara, diperkirakan mencapai 300 juta orang lebih. Bila dilihat dari jumlah penuturnya, maka Bahasa Indonesia-Melayu menempati posisi keempat di dunia setelah Bahasa China, Inggris dan India. Dengan demikian bukan hal mustahil Bahasa Indonesia-Melayu menjadi bahasa yang digunakan oleh masyarakat ekonomi ASEAN. Kebersamaan dan kesiapan kita sebagai penutur Bahasa Indonesia-Melayu di wilayah nusantara ini adalah sebuah tantangan yang harus diwujudkan bersama.
|
|