 |
|
MARET 2005, gelombang demonstrasi hampir setiap hari terjadi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Demonstran tidak saja berteriak dan membawa spanduk protes, tapi juga membakar bendera Malaysia.
Situasi panas ini dipicu peristiwa 21 Februari 2005. Sebanyak 17 warga Indonesia ditangkap kapal perang Malaysia di Ambalat. Angkatan laut Malaysia juga mengejar nelayan-nelayan Indonesia di kawasan yang disengketakan itu. Berita ini menyulut kemarahan sejumlah aktifis di Jakarta dan sejumlah kota lain. Indonesia telah pula menyiapkan kapal perang menjaga kemungkinan terjadi gesekan lebih keras.
Pada 15 April 2005, Harian Kompas menurunkan berita, yang isinya menyatakan Deputi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Malaysia, Najib Razak, minta maaf atas insiden tersebut. Namun, empat hari kemudian, Senin (18 April 2005), Kompas menurunkan berita bantahan Najib. Menurut Najib, peristiwa Ambalat tersebut terjadi di wilayah perairan Malaysia. Jadi, tidak ada alasan untuk minta maaf. Najib bahkan berencana menuntut Kompas karena menulis berita yang tidak benar.
Blok Ambalat seluas 15.235 kilometer yang terletak di Selat Makassar dan dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, sejak 1967 sudah menjadi sengketa dua negara. Blok ini kaya kandungan minyak mentah. Pemerintah kedua negara sudah berkali-kali berganti, perundingan pun terus dilakuan, namun belum dapat menyelesaikan sengketa ini.
Media mainstream di Indonesia terus memberitakan situasi yang memanas ini. Sebagai Pemimpin Redaksi Republika saat itu, saya merasakan situasi ini tidak baik dalam hubungan kedua negara. Jumat sore awal April 2005, saya kirim pesan singkat (sms) kepada Kamal Khalid, staf Perdana Menteri Abdullah Badawi. Dalam sms itu, saya sarankan pertemuan ulama-ulama Indonesia dengan PM Badawi.
Saya mengenal Kamal Khalid saat berkunjung ke Jakarta bersama Khairy Jamaluddin (menantu Badawi), dan Khalimullah Hassan (pengerusi Bernama). Kamal dan Khalimullah bersahabat dengan pemilik Republika, Erick Thohir yang kini memiliki klub Inter Milan Italia.
Tidak sampai sepekan, pertemuan dilaksanakan di ruang kerja PM di Putra Jaya. Hadir Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kini Ketua Umum PBNU), Prof. Dr. Din Syamsuddin M.A (Wakil Ketua PP Muhammadiyah, yang kemudian menjadi Ketua PP Muhammadiyah dan Ketua Majelis Ulama Indonesia), KH Cholil Badawi
(Ketua Dewan Dakwah Indonesia), Drs. H. Nazri Adlani (Ketua Umum Al-Ittihadiyah, Wakil Ketua MUI), Garibaldi Thohir, Erick Thohir, dan saya.
Di ruang kerja berlantai papan di Istana Putra Jaya, PM Abdullah Badawi selama hampir dua jam berdiskusi dengan tokoh-tokoh ulama Indonesia tentang hubungan kedua negara yang harus terus diperkuat. Konflik justru menguntungkan pihak lain. Dalam diskusi itu, Din Syamsuddin mengutip pemikiran Fazlur Rahman, pemikir Islam modern asal Pakistan, yang menyebutkan bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan masa depan dunia Islam. Di dua negara ini, berkembang Islam moderat, yang tidak dalam pusaran konflik.
Pertemuan PM Badawi dan ulama-ulama Indonesia itu cepat menyebar di Indonesia dan Malaysia melalui media. Ini seperti air di tengah memanasnya hubungan kedua negara. Dan, sejak itu, berbagai pertemuan pemimpin redaksi media cetak dan elektronika Indonesia dengan PM Badawi dan Wakil PM Najib Razak. Ini berlanjut dengan diskusi-diskusi dengan wartawan-wartawan senior Malaysia, yang kemudian atas kesamaan visi -- membentuk Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI).
Pertemuan seperti itu tentu baik untuk memperkuat hubungan dua negara, tapi ini tidak cukup. Pendekatan politik dan diplomasi hanya meredakan konflik untuk sementara, tidak dapat menyelesaikan akar persoalan. Ia seperti pemadam kebakaran, bekerja ketika kebakaran terjadi.
PENDEKATAN SEJARAH
Indonesia dan Malaysia memiliki sejarah panjang, jauh sebelum bangsa Eropa datang dan membagi-bagi kekuasaannya. Namun ketika kedua negara mendapatkan kedualatannya, sejarah hubungan kedua negara selalu dibaca terutama oleh akademisi, pengamat, dan juga politisi sebagai pertentangan, rivalitas, dan konflik. Hubungan kedua negara dilihat dalam perspektif menang dan kalah.
Perasaan menang-kalah ini, terutama muncul saat Simpadan dan Ligitan, yang disengketakan, sah menjadi milik Malaysia bersadarkan keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ), 17 Desember 2002. Jauh sebelumnya, 1962-1966, terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, yang memberi bekas cukup dalam.
Pemerintah Orde Baru membangun kembali hubungan baik kedua negara. Pada masa Orde Baru itu pula, melalui kepemimpinan Soeharto yang kuat dan berpengaruh, Indonesia merasa sebagai abang terhadap adiknya, Malaysia. Dalam berbagai hal, terutama ekonomi dan pendidikan, Indonesia dianilai lebih maju. Namun keadaan berubah pada 90an. Situasi ini memicu sensitivitas sebagian kalangan di Indonesia. Malaysia dianggap arogan.
Kabar baik dari Malaysia, selalu pula dibaca sebagai kabar buruk di Indonesia, bahkan menjalar ke berbagai aspek, termasuk sepak bola yang mengutamakan sportifitas. Berbagai riak yang muncul, diselesaikan melalui jalur diplomasi dan politik.
Untuk tingkat pemerintah (goverment to goverment), riak hubungan itu dapat diselesaikan, meski mucul lagi riak lainnya. Tetapi di tingkat masyarakat, berbagai kasus tersebut menjadi memori panjang dan kolektif. Kosa kata "Ganyang" yang diucapkan era Presiden Soekarno pada tahun 60-an, hingga saat ini tetap digunakan di Indonesia, bahkan diteriakkan oleh anak-anak muda yang ketika masa konfrontasi itu belum lahir.
Ada banyak buku yang ditulis akademisi dan sejarawan tentang hubungan kedua negara, namun pendekatannya tetap dalam bingkai naik-turunnya hubungan dan konflik sejak 1960-an, disertai upaya-upaya diplomasi kedua negara. Tentu ini baik saja, namun ketika sejarah ditulis dalam bingkai konflik, maka akan menjadi memori panjang dalam ingatan banyak orang bahwa hubungan kedua negara adalah sejarah dari satu titik konflik ke titik konflik lainnya.
Kini, diperlukan pendekatan dan alternatif lain dalam hubungan kedua negara. Suatu jalan yang mempertemukan persamaan, bukan perbedaan. Pendekatan dan studi mendalam tentang sejarah, asal-usul, peradaban, adat-istiadat, migrasi sebelum kedatangan negara-negara Eropa, ditulis kembali dengan narasi yang terbebas dari kepentingan politik, terutama rivalitas: satu merasa lebih hebat dari yang lainnya.
Sejarah yang ditulis kembali, bersama-sama, tidak terpisah-pisah, dan tanpa sekat, apalagi dalam bingkai konflik demi konflik, dapat meminimalisasi kepentingan politik, ideologi, dan subjektivitas masing-masing negara. Adalah keniscayaan: Kedua negara adalah dua cabang dari pohon, akar, dan tanah yang sama.
Optimisme wartawan senior Rosihan Anwar (almarhum) layak direnungkn. Ketika menerima Anugerah Tokoh Wartawan Dunia Melayu oleh Persatuan Mantan Wartawan Berita Harian Malaysia, di Petaling Jaya, 12 Januari 2008, Pak Rosihan yang pernah menjadi koresponden Berita Harian Malaysia berkata: Mari kita berjalan bersama. Kehidupan adalah suatu perjalanan. Kita tempuh perjalanan itu dengan baik. Life is a journey. Travel it well. Semoga kita sampai pada pelabuhan yang dituju.
Pernyataan Pak Rosihan yang pernah menjadi koresponden Berita Harian Malaysia tersebut disambut tepuk tangan meriah dari wartawan Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam, dan Singapura, yang hadir dalam acara tersebut, Ini karena semua yang hadir dalam perasaan yang sama: tanpa sekat, tanpa beda.
Asro Kamal Rokan, adalah Penasihat ISWAMI, Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007), Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional (2010-2012), Dewan Kehormatan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Penasihat Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred), Pengurus Ikatan Cedekiawan Muslim se Indonesia.
|
|