Saman adalah salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Gayo di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur (Kecamatan Serbejadi), Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu) yang ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat.
Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Dalam beberapa literatur menyebutkan, saman berasal dari kesenian yang disebut pok ane yang artinya menepuk tangan sambil bernyanyi dan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo).
Menurut sejarahnya, Saman dikembangkan oleh seorang tokoh Islam yang bernama Syeh Saman. Selain sebagai penyiar agama, Syeh Saman juga seorang seniman sehingga namanya kemudian didedikasikan sebagai nama tarian Saman.
Dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini digunakan sebagai media dakwah untuk pengembangan agama Islam. Sebagai media pengembang agama Islam, sampai kini masih kita rasakan dalam syair-syairnya, terutama dalam langkah-langkah awal selalui dimulai dengan salam.
Dalam perkembangan selanjutnya, saman dijadikan sebagai kesenian yang diikutsertakan dalam festival Pekan Kebudayaan Aceh (PKA ke-2) tahun 1972 di Banda Aceh. Pada waktu itu saman menjadi salah satu tari favorit sehingga digelari “tari tangan seribu” oleh ibu Tien Suharto. Sejak saat itu tari Saman mulai dikenal luas dan diundang dalam pembukaan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1974.
Kemudian Saman diundang ke berbagai acara tingkat nasional hingga misi kesenian ke luar negeri. Pada perkembangan selanjutnya, saman dijadikan sebagai komoditas komersial.
Akhirnya, Tari Saman dari Gayo Lues dan sekitarnya di Provinsi Aceh resmi diakui dan masuk dalam daftar warisan budaya tak benda yang memerlukan perlindungan mendesak UNESCO, pada Sidang akbar tahunan yang dihadiri lebih dari 500 anggota delegasi dari 69 negara, LSM internasional, pakar budaya dan media di Bali pada 22 sampai 29 November 2011 lalu.
|